ASAHAN - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, DR Junimart Girsang MH, MBA menyarankan masyarakat Kabupaten Asahan untuk melaporkan perusahaan perkebunan yang tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU).

Hal tersebut dikatakannya saat ditemui GoSumut.com disela-sela pelantikan GM Perkumpulan Persaudaraan Masyarakat Asahan, di Jalan Meranti, Kisaran, Kabupaten Asahan, Selasa (27/4/2021).

"Masyarakat bisa mengadukan dengan menyurati langsung ke Komisi II atau ke saya selaku Wakil Ketua Komisi II DPR RI dengan melampirkan bukti-bukti yang sah dan fakta. Masyarakat atau kelompok masyarakat juga bisa meminta Komisi II untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) umum. Pastinya kita akan tampung aspirasi masyarakat di Komisi II," ujarnya.

Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, setelah adanya laporan ke Komisi II, maka Komisi II akan mengundang si pemohon untuk hadir mengikuti RDP sesuai dengan jadwal yang ditentukan untuk didengarkan keluhan tentang surat yang disampaikan.

"Baru-baru ini saya baru terima surat dari dua belas elemen masyarakat se-Indonesia dan kita undang mereka untuk RDP. Disaat RDP mereka menyampaikan apa yang mereka lihat dan rasakan dengan melampirkan bukti-bukti. Hal itu dikaji oleh tenaga ahli di Komisi II. Kemudian dalam waktu dekat kami akan turun ke lapangan sesuai dengan data-data akurasinya betul-betul bisa dipertanggungjawabi," katanya.

Dikatakannya, selama ini belum ada pengaduan dari masyarakat Kabupaten Asahan tentang sengketa lahan HGU ke Komisi II.

Di Sumatera Utara yang ada melaporkan ke Komisi II dari Kabupaten Dairi dan Simalungun, selebihnya dari luar Provinsi Sumatra Utara.

"Kalaupun ada masalah sengketa tanah antara perusahaan dan masyarakat ataupun HGU, kita sarankan agar melaporkan ke Komisi II," tuturnya.

Menurutnya, HGU tidak semata-mata hak bisnis saja, tapi bagaimana kontribusi perusahaan untuk masyarakat di sekitarnya harus dipenuhi. HGU itu harus jelas untuk apa, contohnya perkebunan teh. Kalau HGUnya perkebunan teh, maka tanamannya juga harus teh, tidak boleh kelapa sawit.

"Ketika itu berubah dari kebun teh menjadi kebun kelapa sawit, maka HGU itu bisa dibatalkan. Tapi sekarang ini, karena banyaknya laporan dari masyarakat ke Komisi II tentang pengembalian tanah masyarakat dengan cara melanggar hukum tanpa ganti rugi bahkan pembatalan yang sudah puluhan tahun oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN. Dari itu lah yang menjadi dasar kami untuk membentuk Panitia kerja Mapia tanah," terangnya.

Dalam hal ini, sambungnya, panitia tersebut tugasnya akan berkoordinasi dan komunikasi dengan pihak BPN dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan investigasi, melakukan penertiban terhadap Mapia tanah ini.

"Kalau kita bicara tentang fakta tentang perusahaan perkebunan yang tidak jelas legalitasnya, itu sudah menjadi bagian tugas dari panitia. Kalau perusahaan perkebunan HGUnya sudah mati, tentu itu kembali ke Pemerintah. Kebanyakan yang jadi masalah sekarang, HGU sudah mati, tapi tidak diperpanjang," ungkapnya.

Dia mengatakan, biasanya yang sering terjadi saat HGU perusahaan telah habis, masyarakat masuk untuk menguasai. Akhirnya muncul sengketa pertanahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. Padahal perusahaan tersebut sudah tidak punya hak lagi terhadap HGUnya.

"Dengan kejadian seperti itu, tentunya inilah yang menjadi tugas pemerintah. Hal ini yang selalu kami kritik di Komisi II, supaya Pemerintah melakukan penertiban terhadap HGU. Terkadang ada juga HGU yang disalahgunakan pemanfaatannya. Ini juga seharusnya menjadi perhatian pemerintah, agar pemerintah melalui Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN itu selektif didalam memberikan HGU terhadap perusahaan," tegas Junimart Girsang yang juga Dewan Pembina DPP PPMA.