JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan tentang penyelenggaraan kegiatan di bidang pasar modal. Dalam POJK Nomor 3/POJK.04/2021 ini disebutkan regulator juga bisa memerintahkan perusahaan terbuka untuk mengubah status menjadi perseroan yang tertutup.

Hal tersebut tercantum dalam Pasal 66. Namun perintah ini bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Dalam aturan itu juga disebutkan perubahan status wajib disertai dengan tindakan Perusahaan Terbuka untuk memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).

Kemudian mengumumkan kepada masyarakat sesegera mungkin paling lambat 2 hari kerja setelah diterimanya perintah perubahan status dari OJK.

"Melakukan pembelian kembali atas seluruh saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik sehingga jumlah pemegang saham menjadi kurang dari 50 Pihak atau jumlah lain yang ditetapkan oleh OJK," tulis aturan tersebut pasal 66 poin C dikutip, Jumat (26/3/2021).

Kemudian perusahaan juga menyampaikan pernyataan bahwa pemegang saham Perusahaan Terbuka telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dengan susunan pemegang saham terakhir dari Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Biro Administrasi Efek atau Perusahaan Terbuka yang menyelenggarakan administrasi efek sendiri.

Menanggapi hal tersebut Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menilai jika peraturan ini tak sejalan dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Hal ini disebut tak relevan dan tidak proporsional. Karena itu peraturan ini harus segera dicabut. Pasalnya pandemi COVID-19 yang penuh ketidakpastian membuat sejumlah emiten mengalami kesulitan keuangan. Kondisi tersebut pun menjadi trigger makin terpuruknya perekonomian di Indoensia.

"Meski terkesan mengakomodir para investor di tengah kondisi investasi di pasar modal yang tak menentu pasca kasus Jiwasraya, namun POJK tersebut ternyata belum relevan dan tidak proporsional," kata Suparji.

POJK ini bahkan dinilai sudah bertabrakan dengan program PEN yang visinya memberikan relaksasi terhadap kemudahan berinvestasi di masa sulit saat ini. "Masukan dari emiten maupun investor harus didengar. Karena itu suara mereka bisa dijadikan fakta agar OJK mempertimbangkan untuk meninjau atau mencabut POJK tersebut," ujar Suparji.

Apalagi, lanjut dia, program PEN yang ada saat ini belum optimal menjawab permasalahan ekonomi Indonesia saat ini. "Masalah ekonomi saat ini sangat kompleks sehingga PEN belum menunjukkan hasil signifikan. Jadi perlu ada terobosan baru, bukan menambah susah kondisi ekonomi emiten," katanya.

Kemudian Analis Reliance Sekuritas, Lanjar Nafi mengatakan bahwa dengan adanya kewajiban untuk buyback saham, jika dilihat dari sisi emiten justru malah merugikan. "Karena ada kebijakan buyback, justru memberatkan emiten-emiten publik yang ingin melakukan go private. Dipastikan dari sisi emiten pasti merugi," katanya.

Menurutnya, saat ini banyak kasus investasi yang menjerat sejumlah institusi besar. Maka jika dilihat portfolionya, banyak saham yang terancam delisting. Itu terjadi karena kondisi saat ini sudah menjadikan bisnisnya dianggap kurang perform, atau bahkan dari jatuhnya peminat investor untuk masuk di bursa saham.

Sebagai informasi, Kewajiban buyback saham publik itu berlaku bagi emiten yang melakukan penghapusan pencatatan secara sukarela (voluntary delisting) maupun yang terpaksa delisting (penghapusan pencatatan di papan bursa). Karena, perintah OJK ataupun permohonan Bursa Efek Indonesia (BEI) alias forced delisting.