MEDAN-Mencermati RUU Hukum Pidana sebagai pengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang versi terakhirnya diperoleh pada tanggal 28 Agustus 2019 dari www.reformasikuhp.org, Komunitas Advokat Pengawal RUU KUHP menyampaikan beberapa hal terkait dengan rancangan beleid tersebut dari perspektif profesi advokat. Dikatakan Ricka Kartika Barus bersama Tim Pemerhati KUHP, bahwa dari segi pembentukan peraturan dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal, ketentuan Pasal 281 dan Pasal 282 RUU Hukum Pidana jelas tidak memenuhi kejelasan rumusan pasal (delik) dan Asas Kepastian Hukum, sehingga berpotensi melanggar Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta multi tafsir ( sesuai dengan asas Lex Certa/ Lex Stricta).

Adapun bunyi dari Pasal 281 RUU Hukum Pidana tersebut adalah “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang: a. tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan; b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.

“Rancangan delik ini jelas berpotensi melemahkan kedudukan Profesi Advokat dalam Penanganan Perkara, karena kedudukan Profesi Advokat sesuai dengan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (UU Advokat) telah menegaskan bahwa advokat dapat melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya,” kata Ricka melalui rilisnya, Senin (2/9/2019).

Sebaliknya, muatan materi yang akan diatur pada Pasal 281 RUU Hukum Pidana tersebut dapat ditafsirkan dan dibaca dengan pengertian praktis sebagai berikut:“setiap orang termasuk Advokat yang mewakili kepentingan hukum kliennya tidak diperbolehkan atau setidak-tidaknya dibatasi oleh delik ini untuk melakukan upaya hukum terhadap perintah pengadilan atau penetapan hakim, termasuk untuk berbeda pendapat dengan hakim dalam pemeriksaan perkara, serta memperoleh informasi terkait dengan perkembangan perkara secara langsung maupun tidak langsung, termasuk untuk menggalang dukungan atau pendapat publik mengenai perkara yang sedang ditanganinya, misalnya melalui publikasi ke media dan/atau sarana lainnya untuk semua perkara yang ditangani oleh advokat tersebut.”

Pandangan di atas sekaligus menunjukkan bahwa Pasal 281 RUU Hukum Pidana nyata-nyata akan dapat melemahkan fungsi Advokat dalam penanganan suatu perkara. Padahal, Advokat adalah berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin hukum oleh hukum dan perundang-undangan (Pasal 5 UU Advokat) serta dijamin konstitusionalitasnya melalui hak imunitas berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 tanggal 14 Mei 2014 dengan Amar Putusan yang menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar pengadilan.

Selanjutnya, bunyi dari ketentuan Pasal 282 RUU KUHP adalah : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang: a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau b. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan. Ketentuan Pasal 282 RUU Hukum Pidana tersebut dapat menurunkan kredibilitas Advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile), karena seolah menggambarkan bahwa Advokat yang sedang menjalankan profesinya untuk “mempengaruhi” aparat penegak hukumnya dengan cara-cara yang sah dan tidak melawan hukum, misalnya dengan argumentasi hukum (legal reasoning), seolah-olah menjadi identik dengan suatu perbuatan yang curang, meskipun advokat tersebut sama sekali tidak memberikan imbalan berupa suap atau gratifikasi, sebagaimana yang sudah dilarang dalam UU Tipikor.

Perlu diketahui bahwa sebelum seseorang diangkat menjadi Advokat, maka calon advokat wajib untuk memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Advokat (Pasal 5) dan wajib mengucapkan Sumpah Advokat (Pasal 6) sehingga pertanggungjawaban moral seorang Advokat adalah bukan hanya pada klien yang dibelanya, melainkan juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta kepada bangsa dan negara.

“Berdasarkan hal-hal uraikan tersebut senyatanya muatan materi dalam Pasal 281 dan Pasal 282 RUU KUHP berpotensi melemahkan kedudukan Profesi Advokat, oleh karena itu kami meminta kepada DPR RI maupun Pemerintah untuk segera menghapus kedua Pasal tersebut dari RUU Hukum Pidana, karena selain tidak membawa kepastian hukum yang berkeadilan, ketentuan tersebut juga dapat mengakibatkan kegaduhan yang tidak perlu dan berpotensi untuk diuji materinya dalam forum Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.*